Indonesia Flag Orb

Jumat, 03 Juli 2015



2.1 Pengertian Konseling Behavior

Pendekatan konseling behavior merupakan penerapan berbagai macam tehnik dan prosedur yang berakar dari berbagai teori tentang belajar. Dalam prosesnya pendekatan ini menyertakan penerapan yang sistematis, prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif. Pendekatan ini telah memberikan kontribusi yang berarti, baik dalam bidang klinis maupun bidang pendidikan. 
Pendekatan konseling behavioral meletakkan kepedulian kepada upaya perubahan tingkah laku. Sebagai sebuah pendekatan yang relative baru, perkembangannya sejak tahun 1960-an, konseling behavioral telah implikasi yang amat besar dan spesifik pada teknik dan strategi konseling dan dapat diintegrasikan ke dalam pendekatan yang lain. 
Konseling behavioral ini dikembangkan atas reaksi terhadap pendekatan psikoanalisis dan aliran-aliran Freudian. Menurut pendekatan ini, teknik asosiasi bebas, analisis transferensi, dan teknik-teknik analisis sebagaimana yang diterapkan psikoanalisis tidak banyak membantu mengatasi nasalah tingkah laku klien. 
Dewasa ini, pendekatan konseling behavioral berkembang pesat dengan dikembangkannya sejumlah teknik-teknik pengubahan tingkah laku, baik yang menekankan aspek fisiologis, tingkah laku, maupun kognitif. Para pengembang konseling behavioral berkeyakinan bahwa konseling behavioral dapat menangani masalah tingkah laku mulai dari kegagalan individu untuk belajar merespon secara adaptif hingga mengatasi gejala neurosis. Salah satu aspek penting dari gerakan konseling behavioral, yaitu penekananya pada tingkah laku yang bias didefinisikan secara operasional, dapat diamati, dan dapat diukur. Perubahan tingkah laku nyata sebagai criteria spesifik keberhasilan konseling memberikan kemungkinan bagi evaluasi langsung dan segera terhadap keberhasilan konseling behavioral.Cukup banyak para pakar yang telah berjasa mengembangkan pendekatan konseling behavioral, antara lain Wolpe, Lazarus, Bandura, Krumboltz dan Thoresen.


2.2 Konsep Dasar
2.2.1 Pandangan tentang Manusia

Dalam pandangan behavioral manusia pada hakikatnya bersifat mekanistik atau merespon kepada lingkungan dengan kontrol yang terbatas, hidup dalam alam deterministik dan sedikit peran aktifnya dalam memilih martabatnya. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.

Tingkah laku dipelajari ketika individu berinteraksi dengan lingkungan, melalui hukum-hukum belajar pembiasaan klasik, pembiasaan operan, dan peniruan. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.

Manusia cenderung akan mengambil stimulus yang menyenangkan dan menghindarkan stimulus yang tidak menyenangkan, sehingga dapat menimbulkan tingkah laku yang salah atau tidak sesuai. Banyak tingkah laku yang menyimpang karena individu hanya mengambil sesuatu yang disenangi dan menghindar dari yang tidak disenangi.

2. 2.2  Pandangan tentang Kepribadian

Hakikat kepribadian menurut pendekatan behavioral adalah tingkah laku. Selanjutnya diasumsikan bahwa tingkah laku dibentuk berdasarkan hasil dari segenap pengalamannya yang berupa interaksi invidu dengan lingkungannya. Kepribadian seseorang merupakan cerminan dari pengalaman, yaitu situasi atau stimulus yang diterimanya. Merujuk asumsi ini maka untuk memahami kepribadian manusia tidak lain adalah mempelajari dan memahami bagaimana terbentuknya suatu tingkah laku.

a.       Teori Pengkondisian  Klasik

Menurut teori ini tingkah laku manusia merupakan fungsi dari stimulus. Eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap anjing telah menunjukkan bahwa tingkah laku belajar terjadi karena adanya asosiasi antara tingkah laku dengan lingkungannya. Belajar dengan asosiasi ini biasanya disebut classical conditioning. Pavlov mengklasifikasikan lingkungan menjadi dua jenis, yaitu Unconditioning Stimulus(UCS) dan Conditioning Stimulus (CS). UCS adalah lingkungan yang secara alamiah menimbulkan respon tertentu yang disebut sebagai Unconditionting Respone (UCR), sedangkan CS tidak otomatis menimbulkan respon bagi individu, kecuali ada pengkondisian tertentu. Respon yang terjadi akibat pengkondisian CS disebut Conditioning Respone (CR).

Dalam eksperimen tersebut ditemukan bahwa tingkah laku tertentu dapat terbentuk dengan suatu CR, dan UCR dapat memperkuat hubungan CS dengan CR. Hubungan CS dengan CR dapat saja terus berlangsung dan dipertahankan meskipun individu tidak disertai oleh UCS dan dalam keadaan lain asosiasi ini dapat melamah tanpa diikuti oleh UCS.

Eksperimen yang dilakukan Pavlov ini dapat digunakan untuk menjelaskan pembentukan tingkah laku manusia. Gangguan tingkah laku neurosis khususnya gangguan kecemasan dan phobia banyak terjadi karena aosiasi antara stimulus dengan respon individu. Pada mulanya lingkungan yang menjadi sumber itu bersifat netral bagi individu, tetapi karene terkondisikan bersamaan dengan UCS tertentu, maka dapat memunculkan tingkah laku penyesuaian diri yang salah. Dalam pembentukan tingkah laku yang normal dapat terjadi dalam perilaku rajin belajar misalnya, yang terbentuk karena adanya asosiasi.

b.       Teori Pengkondisian Operan

Teori pengkondian yang dikembangkan oleh Skinner ini menekankan pada peran lingkungan dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti dari suatu tingkah laku. Menurut teori ini, tingkah laku individu terbentuk atau dipertahankan sangat ditentukan oleh konsekuensi yang menyertainya. Jika konsekuensinya menyenangkan maka tingkah lakunya cenderung dipertahankan dan diulang, sebaliknya jika konsekuensinya tidak menyenangkan maka tingkah lakunya akan dikurangi atau dihilangkan. Dari prinsip ini dapat dipahami bahwa tingkah laku bermasalah dapat terjadi dan dipertahankan oleh individu di antaranya karena memperoleh konsekuensi yang menyenangkan yang berupa ganjaran dari lingkungan.  Konsekuensi yang tidak tidak menyenangkan yang berupa hukuman tidak cukup kuat untuk mengurangi atau melawan ganjaran yang diperoleh dari lingkungan lainnya. Dipertegas oleh Skinner bahwa tingkah laku operan sebagai tingkah laku belajar merupakan tingkah laku yang non reflektif, yang memiliki prinsip-prinsip yang lebih aktif dibandingkan dengan pengkondisian klasik.

c.        Teori Peniruan

Asumsi dasar teori yang dikembangkan oleh Bandura ini adalah bahwa tingkah laku dapat terbentuk melalui observasi model secara langsung yang disebut dengan imitasi dan melalui pengamatan tidak langsung yang disebut dengan vicarious conditioning. Tingkah laku yang terbentuk karena mencontoh langsung maupun mencontoh tidak langsung akan menjadi kuat kalau mendapat ganjaran.
Paparan kerangka teori behavioral di atas menunjukkan bahwa tingkah laku yang tampak lebih diutamakan dibadingkan dengan sikap atau perasaan individu.

2.3 Teori pengambilan keputusan karir behavioral Krumboltz

Teori ini mengenali empat kategori faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan karir seseorang, yaitu :

a.        Faktor genetik
Faktor ini dibawa dari lahir berupa wujud dan keadaan fisik dan kemampuan. Keaaan diri bisa membatasi preferensi atau ketrampilan seseorang untuk menyusun rencana pendidikan dan akhirnya untuk bekerja. Teori ini 15 mengatakan bahwa orang-orang tertentu terlahir memiliki kemampuan besar atau kecil, untuk memperoleh manfaat dari pengalaman-pengalamannya dengan lingkungan, sesuai dengan keadaan dirinya. Kemampuan-kemampuan khusus seperti kecerdasan, bakat musik, demikianpun gerak otot, merupakan hasil interaksi pradisposisi bawaan dengan lingkungan yang dihadapi sesorang.

b.      Kondisi lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh pada pengambilan keputusan kerja ini, berupa kesempatan kerja, kesempatan pendidikan dan pelatihan, kebijakan dan prosedur seleksi, imbalan, undang-undang dan peraturan perburuhan, peristiwa alam, sumber alam, kemajuan teknologi, perubahan dalam organisasi sosial, sumber keluarga, sistem pendidikan,  ingkungan tetangga dan masyarakat sekitar, pengalaman belajar. Faktor-faktor ini umumnya ada di luar kendali individu, tetapi pengaruhnya bisa direncanakan atau tidak bisa direncanakan.

c.       Faktor belajar
Kegiatan yang paling banyak dilakukan manusia adalah belajar. Ini dilakukan hampir setiap waktu sejak masa bayi, bahkan ada ahli yang mengatakan sejak di dalam kandungan. Ada 2 jenis belajar, yaitu belajar instrumental dan asosiatif. Belajar instrumental adalah belajar yang terjadi melalui pengalaman orang waktu berada di suatu lingkungan dan ia mengerjakan langsung (berbuat sesuatu, mereaksi terhadap) lingkungan itu, dan ia mendapatkan sesuatu sebagai hasil dari tindak perbuatanyaa itu, yaitu hasil yang dapat diamatinya. Ada tiga komponen pengalaman belajar yaitu anteseden, respons, dan konsekuensi. Anteseden ialah segala sesuatu mengenai diri, lingkungan, kejadian yang hadir 16 sebelum atau mendahului dan ada sangkut pautnya dengan perbuataan (respons) itu. Respons perbuataan ialah apa yang dilakukan orang, baik yang tampak maupun yang tidak. Konsekuensi ialah segala apa yang terjadi setelah perbuatan dilakukan atau tindakan diambil, yang kelihatan langsung sebagai hasil atau akibat, yang tidak kelihatan. Belajar asosiatif adalah pengalaman dimana orang mengamati hubungan antara kejadian-kejadian dan mampu memprediksi apa konsekuensinya.

d.       Ketrampilan menghadapi tugas atau masalah
Ketrampilan ini dicapai sebagai buah interaksi atau pengalaman belajar, ciri genetik, kemampuan khusus, dan lingkungan. Termasuk di dalam ketrampilan ini adalah standar kinerja, nilai kinerja, kebiasaan kerja, proses persepsi dan kognitif, set, mental, respons emosional. Dalam pengalamannya, individu menerapkan ketrampilan ini unutk menghadapi dan menangani tugas-tugas baru.
Teori ini berasumsi bahwa kepribadian individu dan perilaku yang dimiliki seseorang timbul dari pengalaman belajar yang unik. Pengalaman belajar ini terdiri dari kontak antara analisis kognitif yang positif dan even-even yang menguatkan secara negatif (Mitchell & Krumboltz, 1984b, hal. 235).
Pengalaman belajar yang terdiri dari adanya pengaruh kognitif yang positif dimaksudkan adalah variabel berikut:
  1. Atribut pembawaan, seperti ras, gender hal lainnya serta kemampuan bawaan seperti keterampilan, keintelektualan serta perilaku.
  2. Kondisi lingkungan sosial, seperti kehidupan sosial, pengalaman individu dalam kerja, pelatihan, kebijakan sosial serta pengalaman kerja dari orang lain, yang mempengaruhi pemilihan kerja.
  3. Pengalaman belajar di masa lalu, dibagi menjadi 2 tipe yaitu pengalaman belajar asosasi yang mana individu mengamati keterkaitan antara kejadian da mampu untuk memprediksi segala kemungkinan. Pengalaman belajar secara aplikasi, individu mampu mengaplikasikan di lingkungan secara langsung dengan hasil yang dapat diobservasi.
  4. Skill dalam pendekatan tugas, melalui pengalaman bahwasanya seperti pemecahan masalah, skill, kebiasaan kerja, mental set, respon emosional serta proses kognitif.
Krumboltz mengatakan bahwa secara potensial penyebab kesusahan dalam membuat pemilihan karir yang bersumber dari penggeneralisasian yang salah, pembandingan diri dengan satu orang, perkiraan yang dilebih-lebihkan dalam hasil dampak emosional, menggambarkan hubungan sebab akibat yang salah, ketidak acuhan dalam hubungan fakta dan memberikan kecendrungan yang tak pantas kepada even yang lemah kemungkinannya. Maka Krumboltz percaya bahwa beberapa dari hal ini berhubungan kepada fakta kesusahan dalam menentukan pemilihan karir.
Pada akhirnya Krumboltz, mengatakan adanya metode untuk mengidentifikasi dan bertindak terhadap kepercayaan pribadi dan pengidentifikasian stress. Yang terdiri dari diantaranya (Krumboltz, 1983; Mitchell & Krumboltz, 1984):
  1. Asesmen terhadap isi dari observasi diri klien dan pandangannya terhadap lingkungan
  2. Proses dari masalah tersebut muncul
  3. Wawancara terstruktur
  4. Thought Listing (Daftar Pikiran Klien)
  5. Imagery (perumpamaan)
  6. Simulasi pemilihan karir
  7. Menggunakan film yang berhubungan dengan pemecahan masalah untuk membantu klien
  8. Pengunaan carrer beliefs inventory (Krumboltz, 1988a), untuk mengindentifikasi prasangka yang menghambat orang dalam mencapai tujuan karirnya.
2.4 Aplikasi Teori Behavioral Krumboltz
Krumboltz dan Baker (1973) mengidentifikasi beberapa langkah yang terlibat dalam konseling karir yaitu
  1. Menjelaskan masalah dan tujuan
  2. Mengidentifikasi bermacam solusi
  3. Mengumpulkan informasi tentang masalah yang telah dikenali
  4. Menguji kemungkinan hasil dari pilihan yang beragam
  5. Mengevaluasi ulang tujuan, menentukan
  6. Menyamaratakan semua proses kepada masalah yang baru
Masalah karir klien sering berhubungan kepada ketidakmampuan individu untuk membuat pemilihan yang berhubungan dengan apa yang dibutuhkan dalam karirnya (Krumboltz and Thoresen, 1969). Crites (1981) memberikan beberapa point mengenai masalah klien yang berhubungan dalam konseling karir yang termasuk dalamnya beberapa kombinasi yaitu:
  1. Ketidakjelasan tujuan
  2. Adanya penghalang dalam aktifitas
  3. Adanya ketakutan akan kemungkinan kegagalan
  4. Konflik dalam pilihan
Keempat point ini adalah diantaranya item dalam Skala Pilihan Karir (Osipow, Carney, Win;er, Yanico and Koschier, 1976; Osipow, 1980), sebagai instrument yang didesain untuk mengukur kebimbangan karir terdahulu dengan differential-diagnosis-treatment.
Krumboltz et al. menekankan bahwa pengalaman belajar yang unik dari masing-masing individu selama hidupnya menyebabkan berkembangnya pengaruh-pengaruh primer yang mengarahkan pilihan kariernya. Pengaruh tersebut mencakup:
a.       Penggeneralisasian self berdasarkan pengalaman dan kinerja yang terkait dengan standar yang dipelajari,
b.      Keterampilan yang dipergunakan dalam menghadapi lingkungan, dan
c.       Perilaku memasuki karier seperti melamar pekerjaan atau memilih lembaga pendidikan atau pelatihan.
Pembentukan keyakinan dan generalisasi individu merupakan hal yang sangat penting dalam model social-learning. Peranan konselor adalah menelusuri asumsi-asumsi dan keyakinan individu dan mengeksplorasi alternative keyakinan dan tindakan yang perlu dilakukan. Membantu individu memahami sepenuhnya validitas keyakinan individu merupakan komponen utama model social-learning. Secara spesifik, konselor sebaiknya berusaha mengatasi masalah-masalah berikut:
a.       Individu mungkin tidak dapat mengakui bahwa masalah yang dihadapinya dapat diatasi (mereka berasumsi bahwa sebagian besar masalah merupakan bagian dari kehidupan yang normal dan tidak dapat diatasi).
b.      Individu mungkin tidak dapat melakukan upaya yang dibutuhkan untuk membuat keputusan atau memecahkan masalah (mereka tidak banyak berusaha mengeksplorasi alternatif).
c.       Individu mungkin tidak menyadari adanya alternative yang memuaskan (mereka melakukan overgeneralisasi asumsi yang salah).
d.      Individu mungkin memilih alternative yang buruk atau alas an yang tidak tepat (individu tidak mampu mengevaluasi karier secara realistic karena keyakinan yang salah dan ekspektasi yang tidak relistik).
e.       Individu mungkin mengalami kekecewaan dan kecemasan akibat persepsi bahwa mereka tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya (tujuannya mungkin tidak realistik atau konflik dengan tujuan lain).
Krumboltz et al. juga memberikan beberapa observasi untuk konseling karier sebagai berikut:
  1. Pembuatan keputusan karier merupakan keterampilan yang dipelajari.
  2. Individu yang mengaku telah melakukan pilihan karier memerlukan bantuan juga (pilihan kariernya mungkin telah dilakukan berdasarkan informasi yang tidak akurat dan alternative yang keliru).
  3. Keberhasilan diukur berdasarkan keterampilan yang telah ditunjukkan mahasiswa dalam membuat keputusan (diperlukan evaluasi terhadap keterampilan membuat keputusan).
  4. Klien berasal dari berbagai macam kelompok.
  5. Klien tidak usah merasa bersalah jika mereka tidak yakin tentang karier apa yang harus dimasukinya.
  6. Tidak ada satu okupasi yang dapat dipandang tepat untuk semua orang.
2.5  Kelebihan dan Kelemahan Teori Behavioral Kurlmboltz
    a. Kelebihan :
1)      Pendekatan ini menekankan bahwa proses konseling dipandang sebagai proses belajar yang akan menghasilkan perubahan perilaku konseli secara nyata.
2)      Pendekatan ini menunjukkan fleksibilitas yang besar, karena tujuan konseling dan prosedur yang diikuti untuk sampai pada tujuan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan konseli.
3)      Pendekatan ini akan membantu individu untuk bisa membekali dirinya untuk mencegah timbulny persoalan kejiwaan.
b. Kelemahan:
1)      Pendekatan ini tidak bermanfaat untuk kasus-kasus berkaitan dengan kehilangan makna dalam hidup. Dengan kata lain, konseling ini hanya menangani kasus berupa cara bertingkah laku yang salah/tidak sesuai.

Daftar pustaka
http://www.maribelajarbk.web.id/2013/12/konsep-dasar-pendekatan-konseling_29.html
http://puspitamms-phid.blogspot.com/2012/01/perbedaan-teori-teori-konseling.html

PAPER TENTANG SKALA PSIKOLOGIS







SKALA PSIKOLOGIS


Paper

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Pemahaman Individu


Dosen Pengampu:
Drs.Heru Mugiarso,MPd,Kons



Oleh:
Wawan Widhianto                  (1301411069)
Kartikaningsih                         (1301413027)
Dije Zarazka Kristy                 (1301414067)
Ani Isnani                               (1301414068)
Yuyun Sundari                        (1301414075)





JURUSAN BIMBINGAN DAN  KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015

SKALA PSIKOLOGIS
1.      Pengertian skala psikologis
Skala psikologis adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur atribut efektif. Kelebihan skala psikologis antara lain adalah: data yang diungkap oleh skala psikologis berupa konstrak atau konsep psikologis yang menggambarkan aspek kepribadian individu, respon tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” dan “salah”, semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh, stimulus berupa pertanyaan biasanya tidak disadari oleh responden yang bersangkutan., dan sekalipun responden memahami isi pertanyaan, biasanya tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki dan kesimpulan yang sesungguhnya diungkap oleh peneliti (Azwar, 2006:4-6).
Sedangkan kelemahannya yaitu: atribut psikologis bersifat laten/ tidak dampak, item dalam skala psikologis didasari oleh indikator-indikator prilaku yang jumlahnya terbatas. Respon yang diberikan oleh subyek sedikit-banyak dipengaruhi oleh variabel yang tidak relevan seperti suasana hati subyek. Kondisi dan situasi sekitar, kesalahan prosedur administrasi, dan semacam atribut psikologis yang terdapat dalam diri manusia stabilitasnya tidak tinggi, dan interpretasi terhadap hasil ukur psikologis hanya dapat dilakukan secara normatif (Azwar, 2006: 2).
2.      Pilihan jawaban pada skala psikologis
Pada skala terdapat lima pilihan jawaban yang terdiri dari jawaban sangat sesuai (SS), sesuai (S), kurang sesuai (KS), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai (STS). Pemberian skor digunakan untuk mengetahui distribusi masing-masing variabel. Adapun kategori jawaban untuk skala psikologis sebagai berikut:



Tabel 3.2
Kategori Jawaban Isntrumen Penelitian
Alternatif (+)
Skor
Alternatif (-)
Skor
Sangat Sesuai (SS)
5
Sangat Sesuai (SS)
1
Sesuai (S)
4
Sesuai (S)
2
Kurang Sesuai (KS)
3
Kurang Sesuai (KS)
3
Tidak Sesuai (TS)
2
Tidak Sesuai (TS)
4
Sangat Tidak Sesuai (STS)
1
Sangat Tidak Sesuai (STS)
5
(Sugiyono, 2010.135)
3.      Karakteristik skala psikologis
Sebagai alat ukur, skala psikologi memilik karakteristik khusus yang membedakannya dari berbagai bentuk alat pengumpulan data yang lain seperti angket (questionnaire), daftar isian, inventori, dan lain-lainnya. Meskipun dalam percakapan sehari-hari biasanya istilah skala disamakan saja dengan istilah tes namun (dalam pengembangan instrumen ukur) umumnya istilah tes digunakan untuk penyebutan alat ukur kemampuan kognitif sedangkan istilah skala lebih banyak dipakai untuk menamakan alat ukur aspek afektif.
Oleh karena itu, dapat diuraikan beberapa di antara karakteristik skala sebagai alat ukur psikologi, yaitu:
1)      Stimulusnya berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan. Dalam hal ini, meskipun subjek yang diukur memahami pertanyaan atau pernyataannya namun tidak mengetahui arah jawaban yang dikehendaki oleh pertanyaan yang diajukan sehingga jawaban yang diberikan akan tergantung pada interpretasi subjek terhadap pertanyaan tersebut dan jawabannya lebih bersifat proyektif, yaitu berupa proyeksi dari perasaan atau kepribadiannya.
2)      Dikarenakan atribut psikologis diungkap secara tidak langsung lewat indikator-indikator perilaku sedangkan indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitem-aitem, maka skala psikologi selalu berisi banyak aitem. Jawaban subjek selalu terhadap satu aitem baru merupakan sebagian dari banyak indikasi mengenai atribut yang diukur, sedankan kesimpulan akhir sebagai suatu diagnosis baru dapat dicapai bila semua aitem telah direspons.
3)      Respons subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh. Hanya saja, jawaban yang berbeda akan diinterpretasikan berbeda pula.
Kedua karakteristik tersebut di atas oleh Cronbach (1970) disebut sebagai ciri pengukuran terhadap performansi tipikal (typical performance), yaitu performansi yang menjadi karakter tipikal seseorang dan cenderung dimunculkan secara sadar atau tidak sadar dalam bentuk respons terhadap situasi-situasi tertentu yang sedang dihadapi. Dalam penerapan psikodiagnostika, skala-skala performansi tipikal digunakan untuk pengungkapan aspek-aspek afektif seperti minat, sikap, dan berbagai variabel kepribadian lain semisal agresivitas, self-esteem, locus of control, motivasi belajar, kepemimpinan, dan lain sebagainya.

4.      Tahap – tahap penyusunan skala psikologis
Menurut Saifuddin Azwar (2005: 11) dalam bukunya Anwar Sutoyo menunjukan bahwa alur kerja dalam penyusunan skala psikologis yaitu sebagai berikut:
a.       Penetapan Tujuan
Sedikit berbeda dengan penyusunan angket, dalam menetapkan ujuan skala psikologis disarankan agar pada tahap penetapan tujuan ini dimulai dari identifikasi yujuan ukur, yaitu memilih suatu definisi dan mengenal teori yang mendasari konstruk psikologis atribut yang hendaka diukur.
b.      Operasionalisasi Konsep
Pada tahap ini, peneliti melakukan tahap pembatasan kawasan (domain) ukur berdasarkan konstruk yang didefinisikan oleh teori yang bersangkutan. Pembatasan ini harus diperjelas dengan mengraikan komponen – komponen atau dimensi – dimensi yang ada dalam aribut termaksud. Dengan mengenali batasan ukur dan adanya dimensi yang jelas, maka skala akan mengukur secara komprehensif dan relevan, yang pada giliranya akan menunjang validitas isi skala.
c.       Pemilihan Bentuk Stimulan
Sebelum penulisna item dimulai, penusunan skala psikologi perlu menetapkan bentuk atau format stimulus yang hendak digunakan. Bentuk stimulus ini berkaitan dengan metode penskalaannya.dalam pemilihan bentuk penskalaan biasanya lebih bergantung pada kelebihan teoritis dan mafaat praktis format yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan pengembangan tes – tes kemampuan kognitif yang dalam pemilihan formatnya perlu mempertimbangkan berkenaan dengan respnden, materi uji, dan tujuan pengukuran.
d.      Penulisan Item atau Reviu Item
Setelah komponen – komponen item jelas di identifikasikannya atau indicator – indikator perilaku telah dirumuskan dengan benar, lazimnya disajikan dalam bentuk blue-print dalam bentuk table yang memuat uraian komponen – komponen dan indicator – indicator perilaku dalam setiap komponen, maka penulisan item dapat dimulai. Beberapa kaidah dalam penulisan item ditunjukan loeh Sutrisno Hadi (2004: 165) dan Saifuddin Azwar (2005: 35) disarikan sebagai berikut:
1)      Gunakan kalimat yang sederhana, jelas, dan mudah dimengerti oleh responden, serta mengikuti tata tulis dan bahasa yang baku.
2)      Hindari penggunaan kata – kata yang bisabermakna gada dan yang tidak ada maknanya.
3)      Hindari pula kata – kata yang terlalu kuat (sugettif, menggiring) dan terlalu lemah (tidak merangsang).
4)      Selalu diingat bahwa dalam penulisan item hendaknya selalu mengacu pada indicator perilaku atau komponen atribut, dan oleh karena itu jangan menulis item yang langsung menanyakan atribut yang hendak diungkap.
5)      Selalu perhatiakan indikator perilaku yang hendak diungkap sehingga stimulus dan pilihan jawaban tetap relevan dengan yujuan pengukuran.
6)      Perlu menguji pilihan – pilihan jawaban yang telah ditulis, adakah perbedaan arti atau makna antara dua piliha yang berbeda sesuai dengan ciri atribut yang sedang diukur.
7)      Perhatikan bahwa isi item tidak boleh mengandung keinginan social pada umumnya dan dianggap baik oleh norama social (social desireability).
8)      Untuk menghidari stereotype jawaban atau cenderung memberikan jawaban pada sisi kanan tanpa membaca atau mempertimbangkan kesesuaiaanya dengan diri responden, maka sebagian item perlu dibuat dalam arah favorable (positif) dan sebagian lain dibuat dalam arah tidak favorabel (negative)
e.       Reviu Item
Reviu pertama dilakukan oleh penulis item sendiri, yaitu dengan selalu memeriksa ulang setiap item yang baru saja ditulis apakah telah sesuai dengan indicator perilaku yang hendak diuangkap dan apakah juga tidak keluar dari pedoman penulisan item. Kompetensi yang diperlukan bagi orang yang dmintai mereviu adalah (a) menguasai masalah konstruksi, (b) menguasai masalah atribut yang diukur, (c) menguasai bahasa tulis standar.
f.       Uji Coba
Tujuan utama uji coba adalah untuk mengetahui apakah kalimat – kalimat dalam item mudah dan dapat dipahami oleh responden sebagaimana diinginkan oleh penulis item. Reaksi – reaksi responden berupa pertanyaan – pertanyaan mengenai kata – kata taua kalimat ang digunakan dalam item merupakan pertanda kurang komunikasinya kalimat yang ditulis dan itu memerlukan perbaikan.
g.      Analisi Item
Merupakan proses pengujian parameter – parameter item guna mengatahia apakah item memenuhi prasyarat psikometris untuk disertakan sebagai bagian dari skala. Parameter item yang perlu diuji sekurang – kurangnya adala daya beda  atau daya diskriminasi item, yaitu kemampuan item untuk membedakan antara subjek yang memiliki atribut yang diukur dan yang tidak. Dalam analisi item yang lebih lengkap dilakukan juga analisi indeks validitas dan indeks reliabilitas item.
h.      Kolpilasi I
Berdasarkan hasil analisi item, maka item – item yang tidak memiliki prasyarat psikometris akan disingkirkan atau diperbaiki lebih dahulu sebelu dapat menjadi bagian dari skala. Di sisi laian, item – item yang memenuhi prasyarat juga tdak denga sendirinya disertakan kedalam skala, sebab proses kompilasi skala masih harus mempertimbangkan proporsionalitas komponen – komponen skala sebagaiman didiskripsikan oleh blue-prin-nya. Dari sini dapat dipahami, bahwa dalam mengumulkan (mengkompilasi) item – item yang memenuhi prasyarat untuk menjadi bagian dari skala perlu meperhatikan (1) apakah suatu item memenuhi prasyrat psikometris atau tidak, dan (2) proporsionalita komponen – komponen skala seperti tertera dalam blue-print.
i.        Kompilasi II
Item – item yang terpilih yang jumlahnya disesuaiakan dengan jumlah yang jumlahnya telah dispesifikasikan oleh blue-print, elanjutnya dilakukan uji reliabilitas. Apabila koefisien reliabilitas skala ternyata belum memuaskan, maka penyusunan skala dapat kembali ke langkah kompilasi dan merakit ulang skala dengan lebih mengutamakan item – item yang memiliki daya beda tinggi sekalipun perlu mengubah proporsi item dalam setiap komponen atau bagian skala. (2012: 201)









Sumber:
(di unduh pada tanggal 12 Mei 2015. Pukul 16.00)
(di unduh pada tanggal 12 Mei 2015. Pukul 16.12)
(di unduh pada tanggal 12 Mei 2015. Pukul 20.00)

Sutoyo, Anwar. 2012. Pemahaman Individu. Yogyakarta: Pustaka Belajar

 
Powered by Blogger | Printable Coupons